
Tak banyak yang tahu bahwa di balik sorotan prestasi nasional hingga internasional, ada perjalanan panjang yang dilalui oleh Haris Arfakhsyad—seorang mahasiswa jurusan Sastra Arab UGM yang kini dikenal sebagai juara pidato Bahasa Arab di berbagai kompetisi bergengsi. Ia berhasil meraih Juara 1 dalam Arabic Fair oleh Sastra Arab UNS, Juara 2 dalam GEKA 7 oleh PBA UMY tingkat internasional, dan Juara 2 FIKAR 12 oleh PBS Arab UPI. Namun, lebih dari sekadar podium dan piala, kisahnya adalah tentang keberanian untuk bangkit dari kegagalan paling awal.
Perjalanan itu bermula sejak ia duduk di bangku kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah. Dalam sebuah lomba dai se-Kabupaten Bangkalan yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama, ia kecil yang lugu dan penakut diminta untuk tampil oleh guru dan orang tuanya. Ia menyanggupi. Berlatih keras, menghafal teks, dan siap tampil—semua sudah dilakukan. Tapi takdir berkata lain. Di tengah-tengah pidato, ia lupa isi teks dan harus menutup penampilannya lebih cepat. Tangis pun pecah usai turun dari panggung. “Ayah, aku mau pulang, aku pasti kalah,” kenangnya.
Meski sempat merasa trauma dan enggan ikut lomba lagi, satu tahun kemudian ia memberanikan diri tampil lagi atas dorongan sang ibu. Kali ini, ia berhasil meraih Juara 3. Sejak saat itulah semangat kompetisi dalam bidang dakwah dan public speaking perlahan tumbuh, hingga akhirnya berlanjut ke jenjang SLTA, ketika ia mulai jatuh cinta pada pidato berbahasa Arab. Kegagalan demi kegagalan tidak menyurutkan langkahnya. Justru dari situ ia belajar, tumbuh, dan pada akhirnya mampu memenangkan lomba pidato bahasa Arab tingkat nasional yang diadakan Kemenag Jember.
Kunci keberhasilannya ternyata bukan hanya soal bakat, tapi soal kedisiplinan dan konsistensi dalam persiapan. Ia selalu memulai dari menyusun naskah sesuai tema lomba, menghafalkannya di luar kepala, melatih gerakan dan intonasi, lalu melakukan simulasi penampilan di depan guru, teman, atau orang tua untuk mendapat masukan. Pola ini ia terapkan hampir di setiap lomba, bahkan hingga kini.
Namun, jalan menuju panggung juara tidak selalu mulus. Ia mengakui bahwa fase kegagalan lebih sering menghampiri dibanding kemenangan. “Tapi saya selalu percaya, setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Jangan pernah berburuk sangka pada usaha sendiri,” tuturnya. Ia menjadikan kegagalan sebagai guru terbaik dan pijakan menuju pencapaian berikutnya.
Di balik semua itu, dukungan orang tua, guru, dan teman-teman menjadi fondasi utama yang memperkuat tekadnya. “Doa dari orang tua adalah kunci,” katanya tegas. Ia juga menyadari bahwa suasana kompetisi mempertemukannya dengan banyak teman baru yang hebat dan inspiratif. Itu adalah salah satu hal yang paling ia syukuri dari perjalanan ini.
Ketika ditanya tentang kualitas yang paling penting agar bisa bersaing di tingkat nasional, jawabannya sederhana namun kuat: terus belajar dan berbenah diri. “Jangan cepat puas. Orang yang ingin berkembang tidak akan berhenti di satu pencapaian saja,” ujarnya. Sikap rendah hati dan optimisme juga ia sebut sebagai pilar penting yang harus ditanamkan.
Momen paling sulit dalam perjalanannya adalah saat ia berkali-kali gagal, hingga tak satu pun lomba ia menangi dalam jangka waktu tertentu. Keinginan untuk menyerah sempat muncul. Namun, doa dan keyakinan orang tua kembali menguatkannya. “Mereka yang hebat bukan yang tidak pernah gagal, tapi yang tidak pernah menyerah meskipun sering gagal,” katanya.
Menutup ceritanya, ia menyampaikan pesan kepada mahasiswa lain: bahwa setiap manusia diciptakan dengan potensi masing-masing. “Yang membedakan kita adalah seberapa jauh kita mau memperbaiki dan membenahi diri. Barang siapa bersungguh-sungguh, pasti akan berhasil,” tuturnya sambil mengutip pepatah Arab, man jadda wajada.
[Humas FIB UGM, Candra Solihin]