Penciptaan karya sastra Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam beberapa dasa warsa terakhir. Tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra Indonesia, baik dalam bentuk puisi, cerita pendek, maupun novel telah mendominasi rak-rak toko-toko buku di Tanah Air. Perkembangan ini tentu di satu sisi sangat menggembirakan, sebagai sebuah tanda geliat dunia seni sastra Tanah Air. Para penulis Indonesia mutakhir telah banyak mendominasi perkembangan ini, sebut saja, misalnya, Ayu Utami, Andrea Hirata, Dewi “Dee” Lestari, atau Soni Farid Maulana, yang sangat produktif menelurkan karya-larya sastra mereka. Tak sedikit dari karya sastra penulis-penulis Indonesia mutakhir ini menyandang predikat best seller. Selain karya-karya sastra hasil para penulis tersebut, di lain pihak karya-karya sastra remaja (teenlit) juga turut mewarnai perkembangan kesuastraan Indonesia.
Ranah kritik sastra, di pihak lain, tidak menunjukkan perkembangan seperti yang terjadi pada karya-karya sastra. Kritik sastra Indonesia kini tengah mengalami kemandegan, dan bahkan dalam beberapa media massa dikatakan bahwa kritik sastra justru telah mengalami kemunduran jika tolok ukurnya adalah ada tidak adanya polemik, seperti Polemik Kebudayaan yang bermula pada tahun 1935, dan menjadi semakin intens pada 1960-an. Di saat karya sastra Indonesia menikmati perkembangan yang cukup pesat, kritik sastra justru mengalami krisis.
Hal ini dikemukakan oleh Dr. Manneke Budiman sebagai salah satu pembicara kunci dalam seminar nasional “Mencari Formula Baru Kritik Sastra Indonesia” yang digelar dalam rangka menyambut ulang tahun ke-80 Prof. Dr. Djoko Pradopo, guru besar ilmu sastra Fakultas Ilmu Budaya UGM. Seminar yang diselenggarakan oleh Departemen Bahasa & Sastra, Prodi Sastra Indonesia ini berlangsung dua hari pada tanggal 3 – 4 November 2017 di Auditorium R. Soegondo kampus FIB UGM.
Lebih jauh Dr. Manneke Budiman mengungkapkan bahwa kritik sastra Indonesia yang mengalami krisis juga memiliki permasalahan lebih substantif, yakni adanya pertanyaan mendasar apakah kritik sastra bisa disamakan dengan karya sastra dalam bentuknya? Siapakah yang lebih otoritatif dalam menulis kritik sastra, penulis karya sastra ataukah para akademisi? Pertanyaan-pertanyaan ini belum sepenuhnya terjawab dalam dalam konteks kesuastraan Indonesia masa kini. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi saat Polemik Kebudayaan tahun 1960an, ketika para kritikus sastra saat itu, yang adalah para penulis, juga memosisikan diri mereka sebagai akademisi. “Dalam Manifesto Kebudayaan, mereka menyatakan bahwa mereka adalah seniman dan cendekiawan”, tegas Manneke.
Sementara itu, pembicara kunci lain, Prof. Dr. I.B. Manuaba mengungkapkan bahwa karya sastra dan kritik sastra berkaitan secara dialektis-kreatif, di mana karya-karya sastra memunculkan kritik sastra yang juga menghasilkan respons berupa karya sastra, sehingga karya dan kritik sastra berfungsi untuk saling melengkapi. Lebih jauh Professor Manuaba menawarkan format baru kritik sastra Indonesia yang lebih inspiratif, suatu kritik yang mengemban dua tugas sekaligus, yakni memediasi antara pengarang dan pembacanya dalam rangka pemahaman nilai dan karya sastra, dan menginspirasi pengarang-pengarang lain untuk merespons kritik dengan karya-karya sastra. Dialektika kreatif inilah yang ditawarkan dalam seminar nasional kritik sastra kali ini. (popiirawan)