Lecture Series on Theory FIB UGM
Tanggal 3 Mei 2017
Jam 12.30 – 14.30
Ruang Sidang 1. FIB UGM.
Pemateri:
Dewi Candraningrum
dcandraningrum@gmail.com
Jejer Wadon, Surakarta
Kajian Ekologi & Gender dalam Matra Interseksional Ruth Wodak, Kimberlé Williams Crenshaw, Carolyn Merchant, & Stephan Lessenich:
Studi Kasus Pemertahanan Pegunungan Kendeng Utara Melawan Korporasi Semen Dunia
Stephan Lessenich, seorang sosiolog dan professor dari Universitaet Muenchen, dalam bukunya Neben uns die Sintflut: Die Externalisierungsgesellschaft und ihr Preis (terbitan Hanser Berlin, 2016) mengamati efek samping dari kapitalisme global dalam proses yang ia sebut sebagai die Externalisierungsgesellschaft (‘eksternalisasi masyarakat’), yaitu bagaimana sistem ini membutuhkan daya dukung sumber daya dari tempat lain (mineral dari tambang, air, pangan, dan bahkan sumber daya manusia dalam rantai migrasi) dan bersamaan juga ekspor sampah ke lokasi lain. Perjalanan panjang proses keluar masuk sumber daya dan sampah-limbahnya ini merupakan rantai paling berbahaya dalam sejarah manusia dan sejarah bumi. Pengubahan lahan produktif menjadi lahan tambang, misalnya, untuk kebutuhan negara tertentu dari negara lain. Atau, perdagangan manusia dalam kasus TKW dan buruh migran murah dari satu negara ke negara lainnya. Ekspor sampah, limbah dan racun berbahaya dari satu negara kuat ke negara lain yang lebih lemah demokrasi dan penegakan hukumnya. Lessenich melihat ini sebagai bahwa ketidakadilan ekologis adalah juga ketidakadilan sosial. Hubungan keduanya bisa ada dalam sebab dan atau akibat. ‘Eksternalisasi masyarakat’ dalam sistem kapitalisme ini dalam sejarahnya telah melahirkan banyak kekerasan, ketidakadilan sosial, dan kehancuran ekologis. Lessenich mengkhawatirkan bagaimana sekelompok masyarakat/negara hidup dari dan bahkan merampas hak hidup dari sekelompok masyarakat/negara lain dengan tanpa saling mengetahui. Harga struktur sosial ekonomi yang harus dibayar sangat tinggi dengan kerusakan ekologis dan daya dukung planet yang semakin berkurang. Ia melihat proses eksternalisasi ini sebagai mobilisasi monopoli yang paling brutal atas bumi dan menjadikan peradaban manusia sendiri semakin rentan.
Ibu Bumi wes maringi, Ibu Bumi dilarani, Ibu Bumi kang ngadili:
Analisis Wacana Kritis Ruth Wodak atas Brokohan & Ritual Memanggil Leluhur
Abstract
The study investigates the representation of brokohan in theatre of protest against cement corporations across North Kendeng Mountain Range using Wodak’s critical discourse analysis (CDA). The study discusses the issue with reference to conservation paradigm within Indonesian Conservation Law No 5 Year 1990. Since brokohan was conducted by Sedulur Sikep who descend from traditional ritual, the analysis exhibits both cultural and societal notions related to how summoning the spirit (leluhur) are portrayed in such modern protest to conserve mother nature. This study attempts to describe tradition and rituals of brokohan using Wodak’s approach, that is analysing its phrase and sentences. The study finds that Sedulur Sikep uses brokohan to deconstruct the pejorative social identity of Samin as stupid and uneducated people. The findings from such an analysis answer the question about such rituals within its social context and the ideologies by which it is sidelined and underrepresented reflecting the discursive construction of representing 19thcentury figure of Samin Surosentiko’s protest against commoditization and capitalization of mother nature which is still richly preserved and alive until the 21st century; and thus being adhered and enliven by contemporary environmentalist protesters.
Keywords: CDA, Samin Surosentiko, brokohan, Sedulur Sikep, identity construction, Kendeng, Conservation Law No 5/1990.
Prof Dewi_