Pembangunan gedung baru Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM resmi dimulai, Kamis (31/3) ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Rektor UGM dan 8 orang perwakilan dari fakultas. Gedung baru yang diberi nama gedung R. Soegondo ini nantinya akan dipergunakan untuk kegiatan perkuliahan, kantor-kantor, serta pusat pelatihan bahasa.
“Saya berharap gedung ini nantinya dapat digunakan untuk menjalankan amanat mencerdaskan bangsa dan memberi manfaat bagi masyarakat,” jelas Dekan FIB UGM, Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, M.A., saat membuka upacara tersebut.
Pembangunan gedung ini, menurutnya, kental dengan nuansa wanita, salah satunya karena pembangunan ini dilakukan berdasarkan visi dari dekan sebelumnya yang merupakan seorang wanita. Karena itu, dalam upacara peresmian pembangunan ini peletakan batu dilakukan oleh 9 orang wanita. Ia pun mengakui bahwa pembangunan gedung dapat terlaksana karena usaha yang sudah dimulai oleh dekan sebelumnya.
Usaha ini mendapat apresiasi dari Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. “Saya merasa bangga FIB mampu berupaya secara mandiri untuk menyiapkan dana yang diperlukan. Kami dari universitas juga memberikan bantuan, tetapi kekuatan terbesar ada di fakultas,” jelasnya.
Dalam sambutannya, Rektor menyampaikan bahwa makna dari pembangunan ini bukan sekadar soal pembangunan gedung kuliah secara fisik, tetapi mendirikan sebuah balai nasional yang bermanfaat untuk ikut membangun ilmu pengetahuan dan budaya. Ia pun meminta perhatian dan kerja sama dari segenap pihak, khususnya civitas FIB, untuk bersama-sama menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik, nyaman, dan kondusif, sehingga dapat menunjang proses belajar-mengajar.
Untuk mewujudkan hal tersebut, gedung ini akan dibangun dengan konsep yang ramah lingkungan, salah satunya dengan menggunakan teknologi-teknologi yang mampu menghemat penggunaan energi. Hal ini sejalan juga dengan konsep pembangunan kampus terbuka hijau yang juga digalakkan oleh Rektor sebelumnya, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc.,. Saat menjabat sebagai rektor, ia sempat mengumpulkan dekan fakultas-fakultas sosial humaniora untuk membahas rencana membangun kawasan kampus yang terbuka, menyatu, serta berwawasan lingkungan.
Dwikorita berharap pembangunan gedung baru FIB dapat menjadi bagian dari rancangan besar tersebut, dan dalam waktu ke depan gedung ini dapat digunakan untuk kemanfaatan bangsa dan negara. “Semoga semangat pengembangan budaya dapat semakin berkobar, semakin menyala dengan berbagai karya yang akan terus tercipta, dan terus mendukung loncatan Indonesia menuju masa depan yang lebih maju,” tambahnya.
Gedung R. Soegondo ini akan dibangun dengan tujuh lantai dan satu lantai semi-basement dengan luas bangunan 9.985 m2. Pembangunan blok pertama dari 3 blok yang direncanakan akan dibangun secara bertahap dan diperkirakan akan mampu diselesaikan dalam waktu 12 bulan, hingga Maret 2017. (Humas UGM/Gloria)
2016
Lecture Series on Theory
Hari/Tanggal: Selasa, 29 Maret 2016
Waktu: Pukul 09.00 – 11.00
Tempat: Ruang A201, Fakultas Ilmu Budaya, UGM
Pembicara: Dr. Kris Budiman, dosen Program Studi Kajian Budaya dan Media, SPs UGM
Tema:
Estetika Semiotik Peircian: Teori dan Penerapan
Pendekatan estetika yang berdasarkan pada konsep-konsep semiotika Peircian memahami karya seni sebagai tanda-tanda yang terjalin dalam proses semiosis
Apa jadinya jika lahan pertanian berada di ruang kota yang mengalami pertumbuhan pesat? Jawabanya sangat kompleks. Bila dilihat dari sisi ekonomi pertanian, lebih spesifik lagi dari nilai tambah (add values), maka akan mencakup aspek yang luas. Aspek itu antara lain industri, urbanisasi, dan modernisasi. Berdirinya industri di kota dan sekitarnya telah mendorong pemakaian tanah-tanah pertanian yang ada di kota. Dampak lain dari industri di kota adalah mendorong terjadinya urbanisasi dan pemukiman kebutuhan lahan untuk pemukiman menjadi meningkat. Pada titik ini, persoalan lingkungan seperti melimpahnya sampah, penataan pemukiman yang tidak teratur, banjir, dan sebagainya sebagai akibat penggunaan lahan kota yang tidak berimbang. Oleh karena itu, modernisasi ruang kota seperti perbaikan kampung kota, pengelolaan sampah kota menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Meskipun demikian, nilai tambah yang diperolah kota akan selalu dikedepankan. Modernisasi menjadi solusi atas sejumlah persoalan atas sejumlah persoalan di kota Semarang, khususnya pada periode 1905-1966.
Hal tersebut dikemukakan oleh Arif Akhyat yang tampil sebagai Pembicara dalam Seminar Bulanan Mahasiswa Program Doktor di Ruang Sidang 1 FIB Universitas gadjah Mada, Rabu 16 Maret 2016. Lebih lanjut, Arif mengakui bahwa topik penelitian di ranah kota harus juga memperhatikan lahan kota yang tidak seluruhnya menampakan ciri kota, tetapi bisa jadi sifat kedesaannya tetap masih nampak di ruang kota, terutama manusianya, tegas Arif Akhyat dalam seminar tersebut.
Seminar bulanan ini juga menghadirkan Johan Robert Saimima dengan Makalah berjudul Nasionalisme Masyarakat Kristen Maluku 1933-1968. Dalam pemaparannya, Saimima menunjukan bahwa sejauh ini klaim nasionalisme Indonesia oleh kaum religius masih didominasi oleh Islam. Dalam kasus Maluku (Selatan), organisasi Gereja Protestan Maluku menunjukkan peran historisnya dalam melawan aktivitas organisasi Republik Maluku Selatan (RMS). Perlawanan gereja ini diklaim Saimima sebagai bentuk kecintaan masyarakat Maluku dalam konteks persatuan Indonesia. Saimima menduga, lahirnya nasionalisme di Maluku yang dipelopori oleh GPM ini didasari oleh masyarakat lokal yang secara historis memiliki hubungan kultural yang panjang dengan masyarakat Indonesia lainnya.
Dalam seminar ini juga dihadiri oleh Dr. Abdul Wahid, dosen Program Studi Sejarah UGM yang menjadi pengarah dari kedua pembicara. Abdul Wahid menyarakan kepada kedua pemakalah agar memperhatikan situasi sosial ekonomi dan politik beserta kebijakan-kebijakan yang lahir pada masa pemerintah kolonial Belanda dan Indonesia karena sedikit banyak pasti mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat kota, termasuk dalam konteks tumbuhnya nasionalisme masyarakat Kristen Maluku. (–ode)