Yogyakarta- Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) cabang Yogyakarta menggelar Diskusi Triwulanan bertajuk ‘Paugeran sebagai Dasar Kebijakan Pewaris Praja Kejawen Mataram’ pada Kamis (28/05) bertempat di Ruang Sidang I Gedung Poerbatjaraka, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (FIB UGM). Diskusi dihadiri oleh dosen, karyawan dan mahasiswa.
Hadir sebagai narasumber, Prof. Dr. Suhartono, guru besar sejarah FIB UGM dan K.R.T. Jatiningrat, pengageng Tepas Dwarapura Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan dipandu oleh Drs. Sudibyo, M.Hum., ketua Manassa Cabang Yogyakarta. “Diskusi kali ini diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang kedudukan paugeran dalam pengambilan kebijakan kraton yang belakangan ini marak dibicarakan oleh masyarakat,” ujar Arsanti Wulandari, SS., M.Hum., sekretaris Manassa Cabang Yogyakarta mewakili penyelenggara.
Dalam kesempatan tersebut, Suhartono memaparkan bahwa paugeran ialah dasar yang dijadikan sebagai pedoman dan mempunyai konsekuensi. Munculnya paugeran baru merupakan sebuah produk anak zaman yang menginginkan perubahan. “Munculnya paugeran juga menyebabkan mindset atau pun opini baru di tengah masyarakat,” jelasnya.
Guru besar bidang sejarah ini menjelaskan, secara historis, hubungan raja dan kawula amatlah dekat. Keduanya saling berkaitan yang disimbolkan dengan gelar ‘manunggaling kawula lan gusti.’ “Ada simbiosis, keduanya berkaitan. Ini menyebabkan paugeran bersifat kontekstual dan legal, dapat dikompromikan secara bersama,” kata dia.
Suhartono menambahkan, masyarakat Jawa menganut sistim patriarki. Pewarisan takhta dilaksanakan menurut garis keturunan ayah, yang mengangkat putra mahkota dari anak laki-laki tertua dan biasanya dari garwa padmi (permaisuri). “Selain itu, menurut catatan sejarah, ada juga pergantian kekuasaan yang berlangsung melalui perebutan kekuasaan,” kata dia.
Sementara itu, K.R.T. Jatiningrat menegaskan bahwa di kalangan Kraton Ngayogyakrta Hadiningrat, seorang raja hendaknya memperhatikan tiga asas ‘cemani jalu jati.’ Cemani dipahami sebagai sifat hitam yang bermakna kematangan, jalu berarti seorang laki-laki dan jati berarti sejati. “Seorang raja, atau pun penerus raja, hendaknya seorang lelaki sejati yang matang,” kata kerabat kraton yang akrab dipanggil Romo Tirun ini.
Terkait dengan Sabdaraja yang dikeluarkan oleh Sultan Hamengkubuwono ke-X, Romo Tirun menganjurkan supaya paugeran kraton tetap mempertimbangkan Undang-undang Keistimewaan. “Ini penting sebab UUK merupakan produk rembugan masyarakat dan telah disepakati bersama dan memiliki dampak bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta,” jelas Romo Tirun.
Menanggapi usul Prof. Sumiati agar UGM turut berperan dalam menyatukan kembali dua pihak yang berbeda pendapat pasca sabda raja, Romo Tirun tidak menolak adanya pihak ketiga yang bersikap netral sebagai mediator. “Saya berharap kalangan akademisi, khususnya akademisi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dapat membantu menyelesaikan permasalahan ini,” pungkasnya.[]