Rapat Senat Terbuka
dalam rangka Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Budaya UGM
Senin, 3 Maret 2014
JENDERAL BESAR ATAWA MARSEKAL GUNTUR
Dies Natalis ke 68 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Sabtu, 8 Maret, 2014, Pk 19.00 di PKKH UGM
(free, tanpa tiket, terbuka untuk umum)
Naskah: Cahyaningrum Dewojati
Diadaptasi dari Hikayat Mareskalek
Karya Abdullah bin Muhammad al-Misri (1811)
Sutradara : Cahyaningrum Dewojati & Sudibyo
Pimpinan Produksi : Heru Marwata
Penata Iringan : Bayu Papang Purnama
Penata Artistik : Gilang Anggryawan, Zakiya Amajida, Paulina Amita Ratna Budi, Citra Kurnia Sholihat
Penata Kostum : Bagus Febriyanto, Eko, & Tim Jurusan Tata Busana UNY
Pengrawit : Tim Karawitan Mahasiswa FIB UGM
Para Pemain (Terdiri atas Dekan, Dosen, dan Mahasiswa FIB UGM):
Pujo Semedi, Heru Marwata, Sudibyo, Bagus Febrianto, Wulan Astuti, Cahyaningrum Dewojati, Arsanti Wulandari, Baha’udin, Stedi Wardoyo, Pujiharto, Hamdan Kasturo, Dian Annisa, Rakhmat Soleh, Novi Siti Kussuji I, Widaratih Kamiso, Wahyu Budi Utomo, Kukuh Luthfi S, Christofer Joseph, Mahmud Hidayat, Pradhipta Putra Pratama, Ferian Estu Putra, Danang Putro Wijoyo, Anindya L Kumara, Tania Nugraheni A, Cecep Nurul Amin, Arin Wahyu Agustin, Bambang Widyonarko, Daiyana Gilang Setiawan, Vincentius Bagas, Nedta Septi, Tri Nurvian Fadhilah, Sudrajat Bimantara, Ahmad Muquffa, Lukman Fauzi, Ahmad Naufal, Syafiq, M. Lukman Arifianto, Farizan Adli N, Wahyu P, Annisa Nurul Ulfa, Zam Zam Nafi’atun, Maryam Adaui, Annisa Apriliani, Resti Dwi Mulyani
Penari: Miftahul Jannah, Ika, Fitria Dewi Rahmawati, Ella Rizky E
Pedansa: Tim Dansa Padamu UGM
Sinopsis
JENDERAL BESAR ATAWA MARSEKAL GUNTUR
Hikayat Mareskalek yang diadaptasi menjadin lakon ketoprak Jenderal Besar atawa Marsekal Guntur tampaknya ditulis untuk menyudutkan orang Jawa dan mengagungkan orang kulit putih dalam hal ini Mareskalek (Daendels). Tidak begitu jelas motivasi pengarang menempatkan orang Jawa dan feodalisme Jawa dalam posisi pinggiran seperti itu. Yang pasti ia sangat kritis dalam melihat berbagai kekurangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Jawa. Posisinya itu kadang-kadang digunakannya untuk merendahkan orang Jawa sebagai orang kulit hitam meskipun ketika menyampaikan hal itu ia menggunakan tokoh Mareskalek ( Daendels).
Dijelaskan oleh Mareskalek bahwa kehancuran kerajaan-kerajaan Jawa terjadi karena raja-raja Jawa hanya melestarikan apa yang telah diwariskan oleh para leluhurnya tanpa berusaha untuk mengembangkan segala potensi yang sudah ada itu untuk kemakmuran negerinya. Di samping itu, keluarga bangsawan Jawa sangat mementingkan kehidupan keduniawiaan meskipun tidak didasari oleh etos untuk merebut harta benda dunia secara utuh. Orang Jawa juga dicitrakan sebagai bangsa yang bodoh, tidak efisien, dan memiliki syahwat seksual yang kuat. Penstereotipan ini tampaknya digunakan untuk menjelaskan ketergantungan (feodalisme) Jawa kepada bangsa kulit putih yang sepanjang hikayat dicitrakan sebagai bangsa yang superior. Inferioritas ini mengukuhkan bahwa dominasi bangsa kulit putih atas Jawa adalah legal. Jawa pantas mendapatkan pencerahan karena masih diliputi kegelapan.
Mareskalek terus-menerus menyudutkan bumiputra Jawa dengan cara melucuti hak-hak istimewa aristokrat Jawa. Dengan mudahnya, seorang petani biasa dikukuhkan sebagai tumenggung. Selain itu, orang-orang yang dianggapnya berjasa karena membantu menggerakkan perniagaan komoditas yang laku di pasar Eropa, seperti kopi dan cengkih,dimuliakannya menjadi Jenderal Kopi dan Jenderal Cengkih. Mareskalek tidak berhenti sampai di situ. Ia merasa bahwa ia adalah maharaja Jawa yang sesungguhnya karena raja-raja Jawa dari Barat sampai ke Timur telah takluk di bawah kekuasaannya. Untuk itu, ia menobatkan dirinya sebagai raja diraja Jawa dengan gelar yang dipilihnya sendiri, yaitu Kanjeng Susuhunan Mangkurat Mangkubuwana. Penobatan Mareskalek sebagai Kanjeng Susuhunan Mangkurat Mangkubuwana menyebabkan Sunan Kalijaga murka. Ia hadir dalam mimpi Mareskalek dan mengingatkannya bahwa tindakannya keterlaluan. Dengan segenap kewibawaannya, Sunan Kalijaga mengingatkan bahwa kekuasaan Mareskalek telah berakhir karena telah menyalahgunakan wewenang yang diamanatkan kepadanya. Mareskalek menyadari kekeliruannya, tetapi telah terlambat. Surat pemanggilan pulangnya ke negeri Belanda telah dilayangkan oleh Kaisar Napoleon. Mareskalek pulang ke Belanda dengan menyimpan kekecewaan.
The objectives of this study were to clarify acoustic characteristics of Korean stops and to investigate and compare Indonesian Javanese and Sundanese non native Korean speaker’s VOT and Korean native speaker’s VOT production of stops. The acoustic analysis was accomplished by measuring the Korean stops (ㄱ/k, ㄲ/kʔ, ㅋ/kh, ㄷ/t, ㄸ/tʔ, ㅌ/th, ㅂ/p, ㅃ/pʔ, ㅍ/ph) VOT in word-initial position and word-medial positions. The comparison of the VOT was conducted on place of articulation, manner of articulation, and the environment of word(in word-initial and word-medial positions).
The result of the acoustic analysis indicated that the VOT of plain stops and aspirated stops pronounced by Korean speakers had significant differences between word-initial and word-medial positions. Moreover, plain stops and aspirated stop VOT in word-initial were longer than that of word-medial positions. There was not significant difference between the VOT of tensed stops in word-initial and word-medial positions. In the case of Javanese and Sundanese, there is not difference on their VOT in word-initial position and word-medial positions.
Based on place of articulation, velar stops has longer VOT than alveolar stops or bilabial stops. In word-initial and word-medial position, based on place of articulation Korean and Javanese’s VOT were ‘velar stops > alveolar > bilabial’ ordering, while that of Sundanese’s VOT was ‘velar stops > bilabial > alveolar’ ordering.
Based on manner of articulation, aspirated stops have longer VOT than tensed stops or plain stops. In word-initial position, Korean and Javanese’s VOT were ‘aspirated stops > plain stops > tensed stops’, while that of Sundanese’s VOT was ‘aspirated stops > tensed stops > plain stops’. in word-initial position, Korean plain stops is unvoiced but voiced in word-medial positions. Therefore in word-medial position, Korean and Sundanese’s VOT were ‘aspiration>tensed stops>plain stops’. But VOT of Javanese in word-medial position was similar to that in word-initial position of ‘aspirated stops > plain stops > tense stops’.
In word-medial position, plain stops pronounced by Korean, Sundanese, and Javanese is voiced, but voiced pronounced by Javanese is different than others. Javanese voiced are pronounced like voiceless stops with breathy voice of the following vowel. Therefore, in word-initial or word-medial position, Javanese and Sundanese plain stops VOT are different. In word-medial position, Javanese and Korean plain stops VOT different as well.
In word-initial position and word-medial position, tensed stops pronounced by Korean or Indonesian(Javanese or Sundanese) have no significant difference. tensed stops pronounced by Javanese or Sundanese have longer VOT than tensed stops pronounced by Korean. However, T-test analysis demonstrated that, compared to plain stops and aspirated stops, tensed stops pronounced by Indonesian are most similar with Korean pronunciation.
Among Indonesian stops consonants, none of them have features of aspiration. Therefore Indonesians tend to be have difficulty in pronouncing Korean aspirated stops. In word-initial position, aspirated stops pronounced by Korean have longer VOT than aspirated stops pronounced by Indonesian, but In word-medial position, aspirated stops pronounced by Indonesian have longer VOT than aspiratied stops
Speaker: Achmad Rio Dessiar, M.A.
Seminar Hasil Penelitian FIB UGM merupakan salah satu kegiatan dalam rangkaian acara Dies Natalis FIB UGM ke-68. Seminar ini bertujuan untuk menyebarluaskan hasil penelitian masing-masing wakil prodi/jurusan di FIB UGM sehingga diharapkan hasil-hasil penelitian warga FIB tersebut dapat terpublikasikan pada segenap civitas academica FIB dan masyarakat umum. Seminar akan diselenggarakan Kamis, 6 Maret 2014 mulai pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB di Auditorium FIB, Gedung Purbatjaraka lantai 3 FIB UGM. Peserta seminar tidak dipungut biaya, tetapi terbatas hanya untuk 150 orang yang dapat berasal dari mahasiswa, dosen, karyawan, dan masyarakat umum. Peserta akan mendapatkan fasilitas berupa booklet seminar, sertifikat, kudapan, dan makan siang. Pendaftaran peserta seminar dapat melalui sekretariat panitia dies, kang_ahid@yahoo.com, mimi_savitri@yahoo.com, atau wirakurniawati@ugm.ac.id.