Hubungan yang rumit antara manusia dan lingkungannya telah menarik perhartian banyak ilmuwan, khususnya antropolog. Salah satu isu yang muncul adalah bagaimana konservasi lingkungan dan ekologi berkaitan dengan hak-hak masyarakat lokal. Kawasan Kabupaten Berau di Provinsi Kalimantan Timur adalah contoh yang unik karena hampir semua wilayah di sini sudah dikonsesi. Dengan kata lain penduduk setempat nyaris tidak memiliki hak atas kawasan mereka sendiri. Hal ini mengemuka di dalam kegiatan FIB Brown Bag Seminar yang digelar pada hari Selasa, 25 Juli 2018 di Ruang Multimedia Gd. R.M. Margono kampus FIB, yang bertajuk “Antropologi Konservasi dan Ekologi Politik di Berau, Kalimantan Timur”. Kuliah umum ini disampaikan oleh Walker DePuy, mahasiswa S3 Antropologi, University of Georgia, Amerika Serikat.
Lebih jauh, DePuy menambahkan bahwa agenda-agenda konservasi berbasis hak masyarakat (right-based conservation) kini cukup populer di seluruh dunia. Salah satu contoh model konservasi ini adalah REDD+ social safeguards yang dirancangkan sebagai sarana untuk mendorong partisipasi komunitas dan menjaga kearifan lokal serta hak masyarakat. “Namun demikian, masih ada satu pertanyaan penting yang butuh diteliti, yakni bagaimana agenda konservasi berbasis hak masyarakat dan tujuannya ini diterjemahkan pada level pemerintahan dan diimplementasikan di lapangan yang nyata?”, ungkap DePuy.
Dengan kasus Program Karbon Hutan Berau (PKHB) di Kalimantan Timur, penelitian DePuy ini mengunakan etnografi secara budaya untuk memahami beberapa hal, di antaranya: bagaimana REDD+ social safeguards berjalan dan diimplementasikan di PKHB; apa saja tantangan dari program ini ada untuk berbagai aktor seperti LSM, pemerintah, dan masyarakat Dayak; serta apa pelajaran bisa dilihat untuk menciptakan program konservasi berasis hak masyarakat baik yang lebih efektif maupun yang lebih adil.