Apa jadinya jika lahan pertanian berada di ruang kota yang mengalami pertumbuhan pesat? Jawabanya sangat kompleks. Bila dilihat dari sisi ekonomi pertanian, lebih spesifik lagi dari nilai tambah (add values), maka akan mencakup aspek yang luas. Aspek itu antara lain industri, urbanisasi, dan modernisasi. Berdirinya industri di kota dan sekitarnya telah mendorong pemakaian tanah-tanah pertanian yang ada di kota. Dampak lain dari industri di kota adalah mendorong terjadinya urbanisasi dan pemukiman kebutuhan lahan untuk pemukiman menjadi meningkat. Pada titik ini, persoalan lingkungan seperti melimpahnya sampah, penataan pemukiman yang tidak teratur, banjir, dan sebagainya sebagai akibat penggunaan lahan kota yang tidak berimbang. Oleh karena itu, modernisasi ruang kota seperti perbaikan kampung kota, pengelolaan sampah kota menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Meskipun demikian, nilai tambah yang diperolah kota akan selalu dikedepankan. Modernisasi menjadi solusi atas sejumlah persoalan atas sejumlah persoalan di kota Semarang, khususnya pada periode 1905-1966.
Hal tersebut dikemukakan oleh Arif Akhyat yang tampil sebagai Pembicara dalam Seminar Bulanan Mahasiswa Program Doktor di Ruang Sidang 1 FIB Universitas gadjah Mada, Rabu 16 Maret 2016. Lebih lanjut, Arif mengakui bahwa topik penelitian di ranah kota harus juga memperhatikan lahan kota yang tidak seluruhnya menampakan ciri kota, tetapi bisa jadi sifat kedesaannya tetap masih nampak di ruang kota, terutama manusianya, tegas Arif Akhyat dalam seminar tersebut.
Seminar bulanan ini juga menghadirkan Johan Robert Saimima dengan Makalah berjudul Nasionalisme Masyarakat Kristen Maluku 1933-1968. Dalam pemaparannya, Saimima menunjukan bahwa sejauh ini klaim nasionalisme Indonesia oleh kaum religius masih didominasi oleh Islam. Dalam kasus Maluku (Selatan), organisasi Gereja Protestan Maluku menunjukkan peran historisnya dalam melawan aktivitas organisasi Republik Maluku Selatan (RMS). Perlawanan gereja ini diklaim Saimima sebagai bentuk kecintaan masyarakat Maluku dalam konteks persatuan Indonesia. Saimima menduga, lahirnya nasionalisme di Maluku yang dipelopori oleh GPM ini didasari oleh masyarakat lokal yang secara historis memiliki hubungan kultural yang panjang dengan masyarakat Indonesia lainnya.
Dalam seminar ini juga dihadiri oleh Dr. Abdul Wahid, dosen Program Studi Sejarah UGM yang menjadi pengarah dari kedua pembicara. Abdul Wahid menyarakan kepada kedua pemakalah agar memperhatikan situasi sosial ekonomi dan politik beserta kebijakan-kebijakan yang lahir pada masa pemerintah kolonial Belanda dan Indonesia karena sedikit banyak pasti mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat kota, termasuk dalam konteks tumbuhnya nasionalisme masyarakat Kristen Maluku. (–ode)