Pada tataran awal, pola kerja ilmuan (peneliti) adalah menghadirkan sebanyak mungkin realitas dalam penelitiannya, khususnya penelitian yang berbasis field research. Tidak terkecuali para ilmuan social, di antaranya sastra, sejarah, linguistic, dan yang paling mutakhir adalah mereka yang mengambil minat pada tradisi lisan. Pentingnya pengetahuan local dalam riset social humaniora telah mewarnai perkembangan kajian ilmuan pada masa kini. Pendekatan penelitian yang berbasis pengetahuan local (Indonesia) ikut memperkaya khasanah ilmu pengetahuan masa kini dengan menghadirkan sejumlah pengetahuan local yang unik, baru, dan bermanfaat bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Hal tersebut terungkap dalam seminar sehari bertema “Tradisi Lisan, Sastra Lisan dan Sejarah Lisan dalam Perspektif Kajian Kritis” di Ruang Margono, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu 4 Juni 2014.
Dalam seminar tersebut tampil 7 orang pembicara yang berasal dari program pendidikan Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Fakultas Ilmu Budaya UGM. Pembicara tersebut adalah Sumiman Uddu dan Heru S.P. Saputra (Kajian Tradisi Lisan), Zaiyardam Zubir dan Ida Liana Tanjung (Sejarah), Irma Diani (Linguistik), Ratih Baiduri dan I Ngurah Suryawan (Antropologi).
Sumiman Uddu dalam makalah yang berjudul “Bhanti-Bhanti sebagai Memori Kolektif Masyarakat Wakatobi” mengatakan bahwa banthi-bhanti dalam tradisi lisan memiliki kandungan nilai dan makna penting dalam perjalanan kehidupan masyarakat. Bhanti-bhanti dalam berbagai situasi bisa berfungsi sebagai kritik social, peringatan, pujian, dan harmoni dalam masyarakat wakatobi. Di dalam bhanti-bhanti ada sejarah, nilai-nilai social yang kompleks, ada perjuangan hidup, ada nilai kejujuran, dan ada ajaran moral yang terkandung di dalamnya. Oleh Karena itu, pengetahuan bhanti-bhanti menjadi semacam “dictionary of live” masyarakat Wakatobi.
Sementara itu Heru S.P Saputra membawakan makalah berjudul “Ekspresi Formulaik: Karakteristik Kelisanan Mantra Using Banyuwangi” menjelaskan bahwa pengetahuan mantra bagi masyarakat Using telah menjadi identitas local. Formula mantra telah mengakar sedemikian lama dalam masyarakat melalui pola pewarisan. Dalam mantra terdapat sejumlah karakteristik yang unik seperti adanya pola perulangan, percampuran antara bahasa local (adat) dengan bahasa Arab yang identik dengan kepercayaan Islam, serta adanya proses transformatif. Mantra menurut Heru berfungsi untuk komunikasi ritual dengan dunia dan kekuatan gaib melalui upacara dan untuk kepentingan tertentu. Dukun dan roh halus menjadi media pengantar mantra yang memungkinkan terjadinya komuniasi ritual. Agar tidak hilang, menurut Heru mantra harus diwariskan dan dirawat. Mantra-mantra yang dikaji Heru S.P antara lain Sabuk Mangir (welas asih), Kejiman, nyapu mbengi, ngentut, dan mantra Jaran Goyang. Semua mantra harus dicapkan lisan oleh dukun, ulas Heru Saputra.
Pengetahuan local juga hadir dari Sumatra Utara, yakni Batak Toba. Ratih Baiduri yang memparkan presentasinya tentang Hak dan Kedudukan Perempuan Batak Toba ini diperoleh dari sebuah naskah lama yang berjudul Ende Siboru Tombaga (EST). Di dalam naskah yang terdiri dari 305 bait dan dalam tiap bait terdapat 4 larik ini terdapat pengetahuan (fakta-fakta) tentang kebudayaan, kedudukan Laki-Laki dan Perempuan dalam Kebudayaan Batak Toba. Temuan Ratih dalam naskah EST di ataranya adalah posisi dilematis perempuan yang ambigu (tidak jelas). System kekerabatan patrilineal dan dan prinsip Dalihan na Tolu ikut memberi warna pada tradisi Batak (laki dan perempuan) masa kini yang memberi peran minim perempuan dalam kehidupan social dan budaya, tafsir Ratih yang menjadi pembicara ketiga pada seminar ini.
Nilai budaya Serawai Bengkulu Selatan melalui sastra lisan juga dihadirkan dalam seminar ini sebagaimana yang disampaikan oleh Irma Diah. Menurutnya, Sastra Lisan yang dimaksud adalah sastra lisan rakyat Bengkulu dalam bentuk pepatah, perumpamaan, nandai, dan rimbaian. Peruntukan dari bentuk-bentuk sastra lisan itu berisi nilai budaya serawai beruapa aturan hidup masyarakat termasuk kaum perempuan dan muda-mudi. Isi lain dari sastra lisan Serawai adalah nilai etika, hiburan, estetis (keindahan), social kemasyarakatan, social, pergaulan, persahabatan, komunikasi, pendidikan, dan falsafah hidup. Kompleksnya nilai-nilai sastra Lisan Serawai Bengkulu menjadi penting dihadirkan untuk mengisi ruang-ruang kehidupan social yang makin jauh dari tradisi humanistic. Sebuah pelajaran yang selama ini dilupakan.
Agama asli (local) di nusantara ternyata masih ada di Papua. Itulah yang dihadirkan oleh I Ngurah Suryawan dengan memaparkan makalah Tradisi Lisan Koreri (Biak), Hai (Amungme), Wege Bage (Mee) dalam transformasi social budaya Rakayat Papua. Agama local ini masih bertahan dalam masyarakat Papua dan terus mengalami transformasi ketika bersentuhan dengan Agama Kristen. Unsur-unsur Agama Kristen diadopsi sebagaimana yang diungkap Ngurah. “Tuhan itu ada bagi rakyat Biak. Kitong suku yang terpilih untuk mengabarkan Injil. Tuhan kita adalah Mansren Manggundi (versi Biak). Kalau pada adat Biak ada adopsi, maka berbeda dengan Mee. Di Mee, agama Wege Bage masih demikian dominan dalam masyarakat, sehingga agama Kristen masih di tolak masyarakat local. Akibatnya, Agama Kristen yang harus mengadopsi tradisi local untuk secara evolusi mengenalkan Agama Kristen pada masyarakat Mee, Papua, papar dosen Universitas Papua Monokwari ini.
Kajian yang memanfaatkan tadisi local, disampaikan juga oleh Ida Liana Tanjung tentang Sejarah Kota Barus yang identitasnya tidak diketahui secara pasti. Kota Barus mengalami trasnsformasi berdasarkan pendekatan ranah budaya menjadi kota bertuah. Ida mengidentifikasi symbol-simbol kota, berupa makam dan jejak lain kehadiran Islam Nusantara di Barus. Temuan terpenting Ida Liana adalah tentang pengetahuan masuknya sejarah Islam di Nusantara. Islam pertama kali masuk ke Indonesia di barus pada abad ke-7, yang dibuktikan dengan adanya makam dan cerita rakyat turun temurun mengenai 44 Aulia di Barus. Fakta ini mereduksi pengetahuan sejarah selama ini yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara datang pada abad XI dan XIII. Komoditi kapur barus yang diperdagangankan sejalan dengan kebutuhan untuk kepentingan komersil dan agama menjadikan Barus menjadi tujuan para pedagang. Kondisi inilah titik awal hadirnya masyarakat Barus dalam arus sejarah Nusantara dan Dunia.
Lain di Barus, lain pula di Riau, memori kolektif yang perlu direkam dari orang Minangkabau yang ada di Riau, khususnya mereka yang separuh hidupnya bertarung melawan dominasi kapitalis perkebunan. Pertarungan rakyat atas nama hak atas tanah menjadi demikian penting di daerah itu karena serbuan pemilik modal dalam pembukaan perkebunan kelapa sawit. Dengan judul Beraja ke Indra Giri, Beradat ke Minangkabau, Zaiyardam Zubir menampilkan konflik berkepanjangan antara pemilik tanah dengan hak ulayat dengan pemilik tanah atas nama negara yang kehadirannya berdasarkan prinsip formalism. Pertarungan tanpa henti ini menempatkan negara selalu dalam posisi menang, meski pada saat yang sama undang-undang Agraria juga mengakui adanya hak ulayat warga negara atas tanah yang telah dijaga selama puluhan tahun atau sudah turun temurun.
Sejarah Lisan dalam memandang persoalan tersebut seringkali kehilangan konteks sehingga kajiannya lemah secara metodologi. Tanpa keberpihakan seharusnya sejarah harus menghadirkan konteks dan penjelasan yang lebih konprehensif. Sejarah lisan harus mengungkap informasi sebanyak mungkin informasi lisan, bukan hanya mengandalkan teks tertulis yang dihadirkan negara berdasarkan kepentingannya. Dalam konteks inilah kehadiran sejarah memberi kontribusi pada humanism. “Belum tentu yang tertulis itu lebih baik dari yang lisan sebagai sumber sejarah”, ujar Dosen Universitas Andalas Padang ini.
Disarikan dari
Seminar Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora bertema “Tradisi Lisan, Sastra Lisan dan Sejarah Lisan dalam Perspektif Kajian Kritis” di Ruang Margono, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu 4 Juli 2014.
kontributor: La Ode Rabani-S3 FIB UGM