Hal yang kontras antara sejarah sosial yang kurang mendapat perhatian pada era Orde Baru dan modernitas masyarakat beserta infrastruktur perkotaan yang dianggap sebagai “kelebihan” Orde Baru. Kedua hal itu disampaikan oleh dua pebicara, Toeti Kakialatu, mantan Wartawan Istana pada era Orde Baru dan Ilham Daeng Makelo, dosen pada Jurusan Sejarah Universitas Hassanudin Makassar di Aula Gedung Margono FIB UGM,Rabu 16 Mei 2014.
Menurut pemaparan Toeti, Salah satu kajian yang kurang mendapat perhatian dalam sejarah orde baru adalah sejarah sosial, padahal elemen-elemen sosial yang menjadi “bungkus” dari politik kekuasaan yang dijalankan Suharto sangat membekas dalam ingatan sosial dan melembaga dalam kehidupan kemasyarakatan masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam. Majelis Ta’lim yang didirikan untuk mengakomodasi aktivitas sosial keagamaan menjadi begitu kuat sebagai “sampul sosial” untuk mewujudkan tujuan lain dari orde Baru. Menguatnya peran dan kehadiran perempuan dalam ranah legislatif juga sebagian diperkuat pada era Suharto melalui pendidikan organisasi sosial keagamaan Majelis Ta’lim Indonesia. Kehadiran tokoh-tokoh perempuan seperti Tuti Alawiyah dan lainnya menjadi bukti peran tersebut, lanjut Toeti Kakialatu dalam presentasinya yang berjudul “Sejarah Sosial Era Orde Baru”.
Pemakalah kedua yang tampil dalam forum ini adalah Ilham Daeng Makello. Menurut Ilham Era Orde Baru yang dikenal sebagai orde pembangunan juga menjadi pemberi “warna baru” dalam modernitas di kota-kota Indonesia. Meskipun realitas modernitas di kota-Kota Indonesia sudah dimulai sejak awal Abad ke-20. Lebih lanjut ilham mengatakan bahwa “Kota Makassar adalah salah satu kota yang mengalami pekembangan signifikan dalam arus modernisasi. Gaya Hidup dan perluasan morfologis kota beserta dampak yang mengikutinya melahirkan sisi lain yang juga meragukan terhadap apa yang disebut modernitas. Perilaku masyarakat perkotaan yang menyertai perkembangan modernitas kota seperti banyaknya tindakan kriminal, penyerobotan tanah, hadirnya kantong-kantong pemukiman liar (slum area), konflik, dan mengalirnya arus urbanisasi ke kota melahirkan keruwetan tersendiri dalam mengatur dan mengembangakan kota Makassar sebagai kota modern”.
Turut hadir dalam seminar yang digagas oleh Mahasiswa Program Pendidikan Doktor Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tersebut adalah Dr. Agus Suwignyo dari Jurusan Sejarah UGM sebagai pembahas. Menurut Dr. Agus, kajian-kajian sejarah era orde baru memang sudah banyak, tetapi masih miskin perspektif. Oleh karena itu, objek kajian yang sama yang dikaji dengan perspektif yang berbeda akan menambah kemajuan dalam ilmu pengetahuan Indonesia, termasuk dalam disiplin sejarah dan sastra. Dalam konteks itu kedua makalah yang dipaparkan sudah dalam bingkai perspektif yang baru itu. Konsep transformasi yang digunakan untuk menjelaskan perkembangan modernitas di Kota Makassar menjadi relevan dengan catatan menghadirkan banyak elemen-elemen kota yang masih terus mengalami perubahan menjadi kota modern. Demikian halnya dengan sejarah sosial Orde Baru, sejauh mungkin bisa menghadirkan sisi sosial yang lebih luas terhadap era yang masih “membingungkan” sebagian masyarakat Indonesia, khususnya pada masyarakat bawah. (-ode–, contributor; mahasiswa S3, Ilmu Sejarah FIB-UGM)
*Hasil Seminar Program Pendidikan Doktor, Fakultas Ilmu Budaya UGM