Pada Rabu (22-11), Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM menyelenggarakan “Bedah Buku: Arung Samudera Nusantara dan Kosmopolis Rempah” di Ruang 709 Gedung Soegondo. Acara tersebut merupakan salah satu rangkaian dari Seminar Series Kosmopolis Rempah, hasil kerja sama antara FIB UGM dengan Kundha Kebudayaan DIY dan Tim Kosmopolis Rempah UGM.
Acara ini menghadirkan Dr. Sri Margana, M.Hum. selaku pembicara dan penulis buku. Selain itu, terdapat tiga penanggap dengan latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, yakni Dr. Widya Fitria Ningsih, dosen Sejarah FIB UGM; Prof. Dr. M. Baiquni, M.A., Guru Besar Geografi Pembangunan UGM; dan Prof. Dr. Ir. Sri Gardjito, Pakar Rempah Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Adapun yang bertindak sebagai moderator adalah Prof. Dr. Mustofa, M.Kes., Guru Besar Farmakologi dan Terapi FKKMK UGM sekaligus Ketua Tim Kosmopolis Rempah UGM.
Sri Margana mengawali acara dengan penyampaian latar belakang penulisan dan substansi dari bukunya. Ia mengatakan bahwa bukunya merupakan respons atas upaya pengajuan “Jalur Rempah” sebagai warisan dunia oleh pemerintah Indonesia dan pembentukan Unit Penelitian Kosmopolis Rempah di UGM. Menurutnya, istilah Jalur Rempah itu bermasalah karena mengacu pada jalur perdagangan kolonial yang ditandai dengan peninggalan-peninggalan fisik kolonial saja, seperti benteng dan pelabuhan. Berangkat dari permasalahan itu, ia mengajukan untuk menyoroti pengaruh rempah itu sendiri, yakni penciptaan budaya penggunaan rempah. Oleh sebab itu, ia menggunakan istilah “kosmopolis” karena budaya penggunaan rempah sudah menyebar ke seluruh dunia. Ia pun juga mengajukan kata “kosmopolis” untuk menamai Unit Penelitian Kosmopolis Rempah UGM.
Widya sebagai penanggap pertama kemudian menyoroti buku ini dari perspektif historiografi. Menurutnya, penggunaan sumber asing yang dominan dapat menjadi peluang bagi kajian lanjutan untuk menggunakan sumber-sumber tempatan. Dengan menggunakan sumber tempatan, perspektif lokal yang tak tercatat sumber asing dapat terceritakan. Selain itu, ia juga mengharapkan agar ada kajian lanjutan mengenai rempah di Indonesia dari perspektif gender. Menurutnya, historiografi mengenai hal tersebut masih didominasi oleh narasi peran laki-laki. Padahal, budaya rempah tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan, seperti dalam perdagangan, penanaman, hingga pengolahan rempah.
Kemudian, pemaparan dilanjutkan oleh Prof. Baiquni yang menekankan pada hubungan antara sejarah dan geografi yang begitu kuat. Dari perdagangan rempah, manusia menjalin hubungan dengan lingkungan hidupnya. Peran rempah bagi kehidupan manusia pun tidak dapat digantikan sepenuhnya oleh teknologi saat ini. Oleh sebab itu, rempah dapat menjadi pengingat bagi manusia untuk menjaga kelestarian lingkungannya.
Hubungan antarmanusia yang berbeda pulau hingga benua juga terjalin melalui perdagangan rempah. Hubungan itu kemudian menghasilkan suatu produk budaya yang salah satunya ialah makanan. Prof. Sri Gardjito menjelaskan, bahwa rempah dan laut sebagai perantara perdagangan sangat memengaruhi makanan kita saat ini. Dari rempah dan laut, terjadi interaksi antarbudaya yang menghasilkan perpaduan dalam teknik pengolahan, bahan, hingga cita rasa dalam suatu makanan. Hal itu dinilai sesuai dengan pengaruh perdagangan rempah yang kosmopolitan. Salah satu contoh dari hasil perdagangan rempah itu ialah sambal lada hitam yang hingga saat ini masih eksis dan bumbunya tidak berubah.