Bagi sebuah negara yang berdaulat, kebudayaan nasional dianggap menjadi fondasi identitas bangsa Indonesia. Untuk memperkuat kebudayaan nasional tersebut, kebudayaan lokal digunakan sebagai unsur pendukung.Sayangnya, kebudayaan lokal sering salah diidentifikasi karena prosedur identifikasi budaya lokal tidak pernah terbentuk dengan jelas sampai dilakukannya proyek Pemetaan Kebudayaan Nasional dengan dikeluarkannya UU No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Hal tersebut menimbulkan masalah karena persepsi mengenai kebudayaan lokal yang taken for granted, yang ada sebelum UU Pemajuan Kebudayaan telah begitu berkembang. Pandangan tersebut memandang bahwa kebudayaan lokal selalu diidentifikasi pada setiap praktik yang terlihat tradisional dan dimaknai sebagai warisan masa lampau yang jauh, mengandung nilai-nilai arif dan selalu asli dari masyarakat setempat. Padahal, dinamika kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat sangat kompleks.
Terkait dengan masalah persepsi atas kebudayaan lokal tersebut, Tim Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset-Sosial Humaniora (PKM-RSH) UGM yang terdiri dari Abdila (Program Studi Sejarah 2020), Andhika Wira Setiawan (Program Studi Teknologi Industri Pertanian 2021), dan Ilham Nur Rahman (Program Studi Teknologi Industri Pertanian 2021) melakukan penelitian mengenai ritual Manten Tebu dengan judul riset “Ritus Manten Tebu: Transformasi, Distorsi Pemaknaan, dan Korelasinya terhadap Perspektif Kebudayaan Nasional”.
Dalam penelitian tersebut, Tim berhasil menemukan sebab-sebab distorsi pemaknaan terhadap budaya lokal di masyarakat yang tercermin dalam ritus Manten Tebu. Manten Tebu merupakan sebuah ritus pernikahan batang tebu di pabrik-pabrik gula di Jawa yang dilaksanakan sebelum memasuki musim giling. Menggunakan pendekatan etnohistoris dan analisis wacana, didapatkan fakta bahwa mitos dan tekanan kebutuhan identitas pascakemerdekaan memiliki peran penting.
Berbeda dengan yang dipahami oleh masyarakat saat ini sebagai sebuah kearifan lokal, Manten Tebu tidak tumbuh secara alamiah di dalam masyarakat Jawa. Manten Tebu diketahui muncul pada periode kolonial ketika industri gula merupakan salah satu penyumbang pendapatan terbesar bagi negara kolonial. Namun, kepentingan ekonomi tersebut harus berbenturan dengan masyarakat Jawa yang feodal, percaya mistis, dan tidak terbiasa dengan cara kerja industri yang diatur sedemikian rupa dengan perhitungan-perhitungan rasional. Terlebih, mesin-mesin pabrik bukanlah peralatan yang sebelumnya biasa dilihat masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Guna pembiasaan para buruh itulah, mitos-mitos yang berkaitan dengan industri gula diciptakan.
Manten Tebu kemudian muncul sebagai sebuah invented tradition atau tradisi yang ditemukan yang muncul sebagai alat pengondisian pekerja guna akumulasi kapital kolonial.
Distorsi pemaknaan terhadap ritus Manten Tebu kemudian muncul ketika Manten Tebu direplikasi di berbagai tempat paskakemerdekaan. Akibat sejak awal penciptaan ritus masyarakat Jawa telah diposisikan sebagai objek yang dikondisikan, sekalipun menjadi pelaku tradisi Manten Tebu masyarakat Jawa tidak memiliki kesadaran atas fungsi tersembunyi dari keseluruhan mitos
dalam tradisi tersebut. Akibatnya, pemaknaan atas nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Manten Tebu termasuk segala mitos-mitosnya dengan demikian kontradiktif dengan fakta sejarah ritus tersebut sebagai tradisi di bawah struktur kuasa kolonial yang eksploitatif.
Keadaan tersebut diperparah dengan wacana kebudayaan lokal yang bergulir di media. Krisis identitas pascakolonial menekan suatu bangsa untuk memiliki identitas yang dapat dipromosikan. Media yang memiliki kapabilitas berbicara menggunakan kemampuannya untuk melakukan promosi setiap kali menemukan suatu praktik yang terlihat tradisional di masyarakat yang menciptakan rekonstruksi rupa praktik tersebut—termasuk Manten Tebu—dalam wajah baru kearifan lokal.
Kasus distorsi pemaknaan dalam Manten Tebu ini menjadi cermin bahwa praktik budaya di masyarakat lokal saat ini memiliki dimensi yang kompleks. Pemaknaan atas budaya tersebut dengan demikian juga tidak sederhana. Kita tidak lagi dapat menggunakan paradigma bahwa setiap kebudayaan lokal yang ada saat ini selalu memiliki nilai arif hanya karena memiliki mitos yang secara eksplisit bertutur luhur tanpa perlu mengetahui proses pembentukan mitos tersebut. Paradigma bahwa kebudayaan atau kearifan lokal selalu berakar dari masa lampau yang jauh juga tidak selalu bisa digunakan mengingat terdapat tradisi-tradisi yang ternyata berusia relatif baru.
Sikap kritis diperlukan guna mengidentifikasi nilai-nilai kearifan dalam tradisi lokal di Indonesia. Terlebih jika tradisi tersebut hendak dipromosikan sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Riset mendalam yang mempertimbangkan dinamika masyarakat pelaku tradisi diperlukan dalam proses tersebut. Karena, dari pertimbangan-pertimbangan tersebut nilai kearifan kebudayaan lokal yang ditargetkan untuk mengidentifikasi potensi kontribusinya terhadap kebudayaan nasional bisa diukur.