Gagasan tentang sebuah Negara bangsa Indonesia muncul secara resmi pada saat diadakannya Kongres Pemuda II tahun 1928. Pada saat itu, konsep negara bangsa yang kini menjadi Republik Indonesia adalah sebuah cita-cita, yang diperjaungkan dan menemukan momentumnya pada tahun 1928. Pada saat itulah lagu Indonesia Raya dikumandangkan, yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Pada bait pertama lagu itu tercantum “…Tanah tumpah darahku//Di sanalah aku berdiri…” yang dapat dibaca bahwa pada saat lagu ini digubah, konsep negara dan bangsa masih dalam harapan dan cita-cita.
Hal tersebut diungkapkan oleh Prof. Dr. Faruk H.T., S.U. pada orasi ilmiah bertajuk “Krisis Nasionalisme: Sebuah Renungan Strategis” yang disampaikan dalam Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-71 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Jumat (3/3). Pada tahun ini Fakultas Ilmu Budaya UGM merayakan hari lahirnya yang ke-71 dengan mengambil tema “Multikulturalisme sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia untuk Kebhinekaan yang Harmonis”. Dalam rangka memeriahkan Dies Natalis ke-71 FIB UGM, serangkaian acara telah dilaksanakan sejak bulan Februari lalu, di antaranya adalah seminar, International Culture Festival (ICF), Hari Keluarga, pertandingan olah raga, anjangsana, dan diakhiri dengan Rapat Senat Terbuka.
Lebih jauh dalam orasi ilmiahnya, Prof. Faruk H.T., S.U mengungkapkan gagasan mengenai keindonesiaan pada sekitar tahun 1928 telah bergerak dari gerakan yang murni politik menuju gerakan kebudayaan. Seiring dengan semakin kuatnya tekanan politik pemerintah kolonial Belanda waktu itu, maka semakin kuat pula gerakan keindonesiaan yang bersifat kultural. Hal ini dibuktikan dengan munculnya kegiatan-kegiatan dan organisasi yang bersifat kultural, seperti terbitnya majalah Pujangga Baru, terbentuknya Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), dan terjadinya polemik kebudayaan. Pada akhirnya, apa yang dinamakan nasionalisme telah mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan zaman dan konteks sejarah Indonesia.
Sementara itu dalam Laporan Kerja yang disampaikan saat Rapat Senat Terbuka, Dekan Fakultas Ilmu Budaya menyampaikan capaian-capaian kinerja dekanat FIB UGM yang merupakan keberlajutan dari program-program dekanat periode sebelumnya. Dalam ranah kelembagaan, FIB telah berhasil secara mulus merestrukturisasi jurusan dan program studi dalam departemen-departemen sesuai dengan arah kebijakan universitas. Dari sisi pengelolaan akademik, Dekan menyampaikan proporsi mahasiswa pascasarjana berdasarkan asal pendidikan mereka, yang didominasi oleh bidang ilmu tertentu, dalam hal ini Bahasa dan Sastra Inggris. “Untuk itu, ke depan kita harus memikirkan secara lebih strategis cara dan upaya agar para pendaftar dari Sastra Jawa, Sastra Indonesia, serta sastra dan baha lain tidak menjadi marjinal”, ujarnya.
Selain itu, Dekan juga menyampaikan bahwa dari sisi pengeloaan sumberdaya manusia (SDM), FIB mencatat kenaikan jumlah dosen bergelar doctor yang cukup signifikan. Pada periode 2012 – 2017 terdapat kenaikan jumlah dosen bergelar doktor dari 25,95% menjadi 43,14%, atau dari 34 orang menjadi 66 oraang. Sebaliknya, proporsi jumlah dosen bergelar master tercatat mengalami penurunan dari 64,12% menjadi 55,56%, meskipun secara kuantitatif jumlahnya masih sebesar 85 orang. “Dari jumlah tersebut, 32 orang sedang dalam proses studi S3,” tambahnya.
Sebagai penutup Rapat Senat Terbuka dalam rangka peringatan Dies Natalis ke-71 FIB UGM disuguhkan persembahan lagu-lagu yang dibawakan oleh Tim Paduan Suara Dosen, yang membawakan tiga buah lagu, yakni Goro-Gorone, sebuah lagu daerah Maluku, Plaisir D’Amour, sebuah lagu berbagasa Prancis, dan Sabda Alam. (Tim Humas FIB)