Salah satu “warisan” yang masih melekat pada budaya bangsa Indonesia karena proses kolonialisme adalah nilai-nilai modernitas pada aspek budaya pada sebagaian masyarakat Indonesia. Aspek budaya modern ini, oleh Kolonial Belanda ditanamkan dengan beragam cara. Cara itu antara lain melalui pendidikan, agama, bahasa, teknologi, iklan, jenis pakaian, dan peralatan rumah tangga. Identifikasi modernitas dalam budaya misalnya, dapat ditemukan dalam iklam “Bepergian dengan kereta api”. Iklan ini menegaskan pesan bahwa keluarga modern berpergian dengan kereta api”. Demikian juga pada iklan rokok, dengan mengangkat pesan, “yang tidak merokok, tidak modern”. Pada iklan kaca mata dan arloji juga membawa pesan yang sama, tidak modern, bila tidak memakai kaca mata dan arloji.
Modern juga bisa dinilai dari kebiasaan sehari-hari warga, misalnya dengan kebiasaan membaca surat kabar dan menghadiri pasar malam yang diterangi listrik. Gambaran itu menjadi sebagian dari ceramah Prof. Dr. Henk Schulte Nordholt dalam kuliah umum bertajuk, “Modernity and Cultural Citizenship in the Late Colonial Indonesia” di ruang Multimedia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Senin, 23 Maret 2015.
Menurut Henk, sejumlah kemajuan dalam bidang pendidikan seperti yang ditunjukan kaum pergerakan seperti Ki hajar Dewantara, HOS, Cokroaminoto, dan kaum pergerakan lainnya, salah satu karena kaum berpendidikan Indonesia yang berhasil mengambil nilai-nilai modernitas yang berkembang di luar Indonesia. Berpikir menjadi negara merdeka dan menjadi negara yang bebas adalah mimpi yang ingin diwujudkan. Meskipun demikian, pendidikan di Indonesia pada era colonial gagal menghasilkan kelas menengah yang kuat dan mengambil peran politik yang dominan, sehingga sebagian orang-orang Indonesia yang berpendidikan hanya mampu berpartisipasi dalam system colonial. Kaum terpelajar banyak yang lebih suka bekerja sebagai pegawai administrasi kantoran dan perkebunan colonial.
Prof. Henk lebih lanjut mengatakan bahwa kebiasaan orang-orang Indonesia, terutama di luar Jawa yang senang dengan pesta menjadi salah satu bagian dari proses transfer modernitas colonial di negara koloni. Kesenangan terhadap hadiah, pakain (fashion) , dan sepatu sebagai bagian dari symbol modernitas pada waktu itu yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan.
Dengan realitas itu, menurut Bambang Purwanto yang ikut mendampingi Prof. Henk, Kolonial hanya ditolak secara politik, tetapi diterima dalam konteks budaya. Penerimaan atas sejumlah nilai-nilai modernitas yang berjalan bersamaan dengan proses kolonialisme di Indonesia seperti yang disampaikan oleh Henk, membuktikan hal tersebut. Terkadang kita tidak menyadari bahwa “kebanggaan yang kita bangun lahir dari sesuatu yang kita benci secara politik, namun nilai-nilai budayanya kita ambil sedemikian luas”. Lihatlah nilai-nilai yang dibangun oleh warga negara yang dikategorikan sebagai “indies” di Nusantara. Di dalam keluarga, pasti berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda.
Henk Schulte Nordholt adalah Professor of Indonesian History at Leiden University; Head of Research at Royal Netherlands Institute at Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV), Belanda.