Jurusan Sastra Nusantara FIB UGM mengadakan kuliah umum tentang minat bangsa Amerika terhadap budaya Indonesia khususnya karawitan. Acara yang digelar pada hari Selasa, 04 Maret 2014 di ruang perkuliahan gedung Margono Djojohadikoesoemo dan studio Karawitan FIB UGM pada pukul 13.00 ini, merupakan hasil kerjasama antara Jurusan Sastra Nusantara dengan Northern Illinois University USA.
Tema kuliah umum adalah “Budaya Indonesia di Amerika, from a Musician’s Perspective”. Selain mahasiswa dari berbagai angkatan, hadir pula jajaran pengurus dan staf pengajar jurusan Sastra Nusantara. Dr. Jui-Ching Wang, Associate Professor at Northern Illinois University USA yang menjadi pembicara dalam kuliah tersebut mengaku sangat gembira dapat berkunjung ke Indonesia yang kaya akan kebudayaannya.
Di hadapan para peserta kuliah, Wang mengawali pembicaraannya dengan memuji betapa beruntung warga Indonesia. Orang-orang di seluruh dunia menaruh apresiasi yang sangat tinggi terhadap kebudayaan Indonesia. “Anda sekalian dapat mempelajari berbagai macam kebudayaan yang ada di sini tanpa perlu repot-repot terbang berjam-jam seperti Saya,” tutur warga berkebangsaan Taiwan ini.
Di Amerika, perkembangan kebudayaan Indonesia khususnya musik gamelan tidak bisa lepas dari peran Mantle Hood. Setelah menyelesaikan disertasinya tentang musik di Jawa Tengah (Central Javanese music in 1954), lanjut Wang, sarjana berkebangsaan Amerika ini menghabiskan waktu selama dua tahun untuk melakukan penelitian di Indonesia. Pada tahun 1958, Hood yang kemudian dianugerahi gelar Ki oleh pemerintah Indonesia ini mendirikan program pertunjukan gamelan pertama di Amerika.
Sampai sekarang musik gamelan dapat diterima dengan baik. Bahkan, beberapa universitas di Amerika menyediakan lembaga khusus untuk mempelajarinya. Northen Illionis University misalnya, terdapat Indonesian Dance of Illionis yang merupakan organisasi non-profit terbesar di Chicago. “Lembaga yang konsentrasinya mempromosikan budaya Indonesia melalui tari dan musik ini diketuai oleh I Gusti Ngurah Kertayda, warga asal Bali, Indonesia,” jelas Wang.
Gamelan merupakan sesuatu yang mahal seperti batik. Belajar Gamelan, lanjut Wang, memerlukan proses yang panjang dan rumit. Proses pembuatan batik yang panjang dan bentuknya yang bernilai serta mempunyai makna membuat harganya mahal. Begitu juga dengan gamelan. Instrumen yang beragam dengan kerumitannya masing-masing, dimainkan secara berkelompok, tempo, hingga dinamika irama yang sangat mengandalkan rasa dalam memainkannya membuat musik ini istimewa. Selain itu, kerumitan tersebut dapat melatih otak menjadi jenius. Hal tersebut berbeda dengan musik-musik orkestra barat yang serba menggunakan partitur lagu dan memerlukan kondaktur khusus dalam perpindahan bagian-bagian musik. “Mereka (orang barat) tidak bisa lepas dari partitur, sedangkan dalam gamelan, setiap orang adalah musik itu sendiri,” imbuh Wang.
Bayu Purnama selaku pelatih Gamelan Mahasiswa Jurusan Sastra Nusantara membenarkan pendapat Wang. Ia menambahkan bahwa orang-orang jaman dulu memainkan gamelan tidak menggunakan partitur lagu. Mereka mengutamakan pendengaran dan seketika itu juga dihafalkan kemudian dipraktikkan. Memainkan gamelan sangat mengutamakan rasa. Para pengajar karawitan dulunya tidak menuliskan partitur lagu secara khusus. Misalpun ada, mereka menggunakan notasi yang berbentuk tangga atau pun rantai. Model pengajaran seperti itu dipelopori oleh kepatihan kraton Surakarta. “Walaupun demikian, pada akhirnya para pengrawit tidak bergantung pada partiturnya. Saat memainkan gamelan mereka mengutamakan rasa yang dipersatukan dengan instrumen, notasi dan irama musik, seolah-olah mengalir begitu saja,” pungkas mahasiswa pascasarjana ISI Yogyakarta ini.
Setelah kuliah umum, acara dilanjutkan di studio Karawitan FIB UGM. Pentas Gamelan Mahasiswa Jurusan Sastra Nusantara (GAMASUTRA) berkolaborasi dengan Dr. Jui-Ching Wang menjadi penutup acara.[]