Public Lecture:
Pemateri: Paul Tickell
Rabu, 30 September 2015 ; Margono 306
Pukul 13.00
Politik dan Penerjemahan: Pembinaan Ideologi dan Identitas Komunis di Indonesia, 1914-1926.
Partai Komunis Indonesia didirikkan pada tahun 1920 (sebagai Perserikatan Kommunis di Hindia). Dalam waktu yang cukup singkat organisasi itu menyebar di seluruh Indonesia. Dalam tahun 1926-27, sehabis pemberontakan terhadap pemerintah kolonial organisasi ini dibabat dengan lebih dari 50.000 orang komunis ditangkap dan sekitar 1300 anggota kunci dari partai ini dibuang ke Tanah Merah, Boven Digul di Papua Barat. Suksesnya PKI (serta gagalnya pada tahun 26-27 itu) memang luarbiasa. Sukses ini lebih mengherankan lagi karena ajaran komunis sangat tergantung pada keberaksaraan, yaitu dimuat dalam dan disampaikan oleh tulisan dan “kitab-kitab sucinya” barang impor semuanya. Untuk mendapat kalangan pembaca yang luas, konsep-konsep komunisme harus diterjemahkan.
Proses pengalihbahasaan (dan “pengalih-budayaan”) terjadi dengan berbagai cara. Ada terjemahan karya-karya komunis yang klasik (misalnya, Manifesto Komunis) ke dalam bahasa Melayu/Indonesia dan ada komentar/pembicaraan konsep komunisme yang mengutip (bagian-bagian dari) karya komunis tertentu tetapi tidak menerjemahkannya keseluruhannya. Yang terjadi dengan proses penerjemahan ini adalah suatu proses transformasi. Penganut komunisme ditransformasikan oleh ide dan konsep baru dari ideologi ini, tetapi suatu transformasi yang halus terjadi pada konsep-konsep itu waktu diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu-Indonesia. Ajaran baru ini disesuaikan dengan kondisi dan pengertian setempat. Komunisme diIslamkan, karena pada tingkat awal ini banyak disesuaikan dengan rasa keadilan yang merupakan bagian integral di Islam. Di Jawa sering juga komunisme dijawakan – yaitu disesuaikan dengan etika Jawa (khususnya dengan etika gerakan pemberontak/pembangkang seperti kaum Samin dan lain-lain sebagainya). Dengan proses penerjemahan dari satu bahasa tertulis ke dalam bahasa yang lain (bahasa Melayu – Indonesia) dapat kita pahami proses masuknya komunisme di Indonesia. Namun demikian buat suatu ajaran yang mempertahankan kepentingan “kaum kromo”, kaum buruh atau kaum proletar yang umumnya buta huruf (apalagi buta bahasa Melayu-Indonesia pada waktu itu), proses penerjemahan tertulis harus ditambah dengan siasat lain untuk mensukseskan penyebaran ideologi itu.
Bagian terakhir kuliah ini berusaha menemukan jejak-jejak tidak beraksara yang mensukseskan penyebarluasan ideologi komunis di Indonesia. Jejak-jejak kelisanan sering terdapat dalam laporan tertulis yang kontemporer: berita tentang rapat (vergadering), ceramah, pertunjukan sandiwara, lagu-lagu serta benda-benda materiil yang membangkit rasa kesetiakawanan/solidaritas antara kaum komunis.